PROPOSAL
PENELITIAN
JENIS DAN POLA DISTRIBUSI EKTOPARASIT PADA KEPITING RAJUNGAN
(Portunus pelagicus) DI PERAIRAN DESA
LAKARA KECAMATAN TINANGGEA KABUPATEN KONAWE SELATAN
OLEH
:
LA ODE TANDA
I1A2
10 127
PROGRAM
STUDI BUDIDAYA PERAIRAN
JURUSAN PERIKANAN
FAKULTAS
PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS
HALU OLEO
KENDARI
2014
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kepiting Rajungan (Portunus
pelagicus) merupakan kepiting laut yang banyak terdapat di Perairan
Indonesia. Rajungan telah lama diminati oleh masyarakat baik di dalam negeri
maupun luar negeri, oleh karena itu harganya relatif mahal. Daging kepiting ini selain dinikmati di
dalam negeri juga di ekspor ke luar negeri seperti ke Jepang, Singapura dan
Amerika. Rajungan di Indonesia sampai sekarang masih merupakan komoditas
perikanan yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Sampai saat ini seluruh
kebutuhan ekspor rajungan masih mengandalkan dari hasil tangkapan di laut
(Mania 2007).
Menurut Mustafa
dkk (2012), menyatakan
bahwa Sulawesi
Tenggara adalah salah satu pemasok bahan
baku industri pengalengan Kepiting rajungan (Portunus pelagicus) yang
merupakan komoditas ekspor
penting dari sektor perikanan. Komoditi
ini dihasilkan dari usaha perikanan dengan
alat tangkap bubu hanyut yang tebuat
dari besi dan pengoperasian dilakukan secara berderetan, dihubungkan pada
tiap-tiap bubu, yang diberikan pemberat utama dan pelampung tanda yang
berbendera (Amgyat, 1982 dalam Jafar
2011).
Parasit merupakan organisme yang hidupnya tergantung pada organisme lain
dan memiliki hubungan timbal balik dengan organisme yang ditumpanginya.
Organisme tempat parasit hidup dinamakan inang yang berperan sebagai sumber
nutrien, tempat hidup dan tinggal. Parasit Kepiting rajungan artinya parasit
yang hidup di tubuh Rajungan dan menjadikannya sebagai inang. Sedangkan
ektoparasit adalah parasit yang melekat pada bagian permukaan tubuh (Noble et al, 1989).
Informasi tentang keberadaan parasit khsusunya ektoparasit di tubuh
Rajungan dapat digunakan untuk perkembangan perikanan baik perikanan tangkap
maupun perikanan budidaya serta kesehatan masyarakat. Pada kegiatan budidaya ektoparasit
dapat menimbulkan kematian larva
(Grabda, 1991). Sedangkan hubungan parasit dengan kesehatan masyarakat adalah
berkaitan dengan Zoonosis, yaitu infeksi yang secara alamiah dapat berpindah
antara hewan dengan manusia, dimana manusia terinfeksi bila memakan organisme yang telah terinfeksi ektoparasit
dari larva Nematoda. Efek yang timbul dapat berupa inflamasi, pendarahan dan
pembengkakan pada usus (Grabda, 1991).
Menurut Sinderman (1990), efek ekonomis yang diakibatkan
oleh infeksi ektoparasit dalam kegiatan penangkapan maupun budidaya yaitu dapat
berupa pengurangan populasi, penurunan bobot dan penolakan konsumen akibat
adanya perubahan morfologi. Menyikapi akan bahaya yang timbul akibat serangan ektoparasit
maka perlu dilakukan identifikasi dan intensitas ektoparasit pada Rajungan yang
di tangkap dengan alat tangkap bubu di Desa Lakara, Kecamatan Tinanggea
Kabupaten Konawe Selatan. Untuk itu
langkah yang paling awal adalah mengetahui jenis-jenis ektoparasit yang
menginfeksi Kepiting rajungan.
B.
Rumusan Masalah
Banyaknya manfaat
yang dapat diambil dari informasi tentang identifikasi dan intensitas serta
pola distribusi ektoparasit pada Kepiting rajungan (P. pelagicus), untuk perkembangan perikanan dan kesehatan
masyarakat serta masih sedikitnya
informasi tentang ektoparasit yang menginfeksi Kepiting rajungan (P. pelagicus) sehingga perlu dilakukanya
penelitian ini. Penelitian ini difokuskan terhadap pola ditribusi serta identifikasi
dan intensitas ektoparasit yang menginfeksi Kepiting rajungan (P. pelagicus) yang berlokasi di desa
Lakara, Kecematan Tinanggea Kabupaten Konawe Selatan.
B.
Tujuan dan Manfaat
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi serta menghitung intensitas
ektoparasit pada Kepiting rajungan (P.
pelagicus) yang ditangkap dengan alat tangkap bubu di perairan desa Lakara
Kecamatan Tinanggea Kabupaten Konewe Selatan.
Kegunaan dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang
berbagai jenis dan pola distribusi ektoparasit pada Kepiting rajungan yang
tertangkap dengan alat tangkap bubu di perairan desa Lakara, Kecamatan
Tinanggea Kabupaten Konewe Selatan.
.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Klasifikasi
dan Morfologi
Kepiting Rajungan hidup pada kedalaman air laut sampai 40 m,
pada daerah pasir, lumpur, atau pantai berlumpur. Klasifikasi Kepiting rajungan Menurut Mirzads (2009)
adalah sebagai berikut :
Kingdom :
Animalia
Filum
: Athropoda
Kelas : Crustasea
Ordo : Decapoda
Famili : Portunidae
Genus : Portunus
Species : Portunus pelagicus
Gambar 1. Morfologi Kepiting
Rajungan (Portunus pelagicus)
Menurut Nontji (1986), ciri morfologi rajungan mempunyai karapaks berbentuk
bulat pipih dengan warna yang sangat menarik kiri kanan dari karapas terdiri
atas duri besar, jumlah duri-duri sisi belakang matanya 9 buah. Rajungan dapat
dibedakan dengan adanya beberapa tanda-tanda khusus, diantaranya adalah
pinggiran depan di belakang mata, rajungan mempunyai 5 pasang kaki, yang
terdiri atas 1 pasang kaki (capit) berfungsi sebagai pemegang dan memasukkan
makanan kedalam mulutnya, 3 pasang kaki sebagai kaki jalan dan sepasang kaki
terakhir mengalami modifikasi menjadi alat renang yang ujungnya menjadi pipih
dan membundar seperti dayung. Oleh sebab itu, rajungan dimasukan kedalam
golongan kepiting berenang (swimming crab).
Ukuran rajungan antara yang jantan dan betina berbeda pada umur yang sama.
Yang jantan lebih besar dan berwarna lebih cerah serta berpigmen biru terang.
Sedang yang betina berwarna sedikit lebih coklat (Mirzads 2009). Rajungan
jantan mempunyai ukuran tubuh lebih besar dan capitnya lebih panjang daripada
betina. Perbedaan lainnya adalah warna dasar, rajungan jantan berwarna
kebiru-biruan dengan bercak-bercak putih terang, sedangkan betina berwarna
dasar kehijau-hijauan dengan bercak-bercak putih agak suram. Perbedaan warna
ini jelas pada individu yang agak besar walaupun belum dewasa (Moosa 1980 dalam Fatmawati 2009).
Ukuran rajungan yang ada di alam bervariasi tergantung
wilayah dan musim. Berdasarkan lebar karapasnya, tingkat perkembangan rajungan
dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu juwana dengan lebar karapas 20-80 mm,
menjelang dewasa dengan lebar 70-150 mm, dan dewasa dengan lebar karapas
150-200 mm (Mossa 1980 dalam
Fatmawati 2009). Secara umum morfologi rajungan berbeda dengan kepiting bakau,
di mana rajungan (Portunus pelagicus)
memiliki bentuk tubuh yang lebih ramping dengan capit yang lebih panjang dan
memiliki berbagai warna yang menarik pada karapasnya. Duri akhir pada kedua
sisi karapas relatif lebih panjang dan lebih runcing.
B. Habitat
dan Penyebaran
Menurut Moosa (1980) habitat rajungan adalah pada
pantai bersubstrat pasir, pasir
berlumpur dan di pulau berkarang, juga berenang dari dekat permukaan laut
(sekitar 1 m) sampai kedalaman 65 meter. Rajungan hidup di daerah estuaria
kemudian bermigrasi ke perairan yang bersalinitas lebih tinggi untuk menetaskan
telurnya, dan setelah mencapai rajungan muda akan kembali ke estuaria (Nybakken
1986).
Rajungan banyak menghabiskan
hidupnya dengan membenamkan tubuhnya di permukaan pasir dan hanya menonjolkan
matanya untuk menunggu ikan dan jenis invertebrata lainnya yang mencoba
mendekati untuk diserang atau dimangsa. Perkawinan rajungan terjadi pada musim
panas, dan terlihat yang jantan melekatkan diri pada betina kemudian
menghabiskan beberapa waktu perkawinan dengan berenang (Susanto 2010).
Menurut Juwana (1997), rajungan
hidup di berbagai ragam habitat, termaksud tambak-tambak ikan di perairan
pantai yang mendapatkan masukan air laut dengan baik. Kedalaman perairan tempat
rajungan ditemukan berkisar antara 0-60 m. Substrat dasar habitat sangat
beragam mulai dari pasir kasar, pasir halus, pasir bercampur lumpur, sampai
perairan yang ditumbuhi lamun.
Menurut Nontji (1986) dalam
Jafar (2011),
rajungan merupakan salah satu jenis dari famili Portunidae yang habitatnya
dapat ditemukan hampir di seluruh perairan pantai Indonesia, bahkan ditemukan
pula pada daerah-daerah subtropis. Nyabakken (1986) mengemukakan bahwa rajungan
hidup sebagai binatang dewasa di daerah estuaria dan di teluk pantai. Rajungan
betina bermigrasi ke perairan yang bersalinitas lebih tinggi untuk menetaskan
telurnya dan begitu stadium larvanya dilewati rajungan muda tersebut bermigrasi
kembali ke muara estuaria.
Rajungan hidup pada kedalaman air laut sampai 40 m, pada
daerah pasir, lumpur, atau pantai berlumpur (Coleman 1991).
C. Siklus Hidup Kepiting
Rajungan (P. pelagicus)
Menurut Effendy dkk. (2006), rajungan hidup di daerah
estuaria kemudian bermigrasi ke perairan yang mempunyai salinitas lebih tinggi.
Saat telah dewasa, rajungan yang siap memasuki masa perkawinan akan bermigrasi
di daerah pantai. Setelah melakukan perkawinan, rajungan akan kembali ke laut
untuk menetaskan telurnya.
Saat
fase larva masih bersifat planktonik yang melayang-layang di lepas pantai dan
kembali ke daerah estuaria setelah mencapai rajungan muda. Saat masih larva,
rajungan cenderung sebagai pemakan plankton. Semakin besar ukuran tubuh,
rajungan akan menjadi omnivora atau pemakan segala. Jenis pakan yang disukai
saat masih larva antara lain udang-udangan seperti rotifera sedangkan saat
dewasa, rajungan lebih menyukai ikan rucah, bangkai binatang, siput,
kerang-kerangan, tiram, mollusca dan jenis krustacea lainnya terutama
udang-udang kecil, pemakan bahan tersuspensi di daratan lumpur (Effendy, dkk 2006).
D.
Alat
dan Tehnik Penangkapan
Alat tangkap yang digunakan dalam menangkap Kepiting
rajungan (P. pelagicus) yaitu bubu hanyut.
Menurut Amgyat (1982) dalam Jafar
(2011), bubu hanyut merupakan alat tangkap rajungan yang terbuat dari besi
dengan ukuran 80x60 cm, seperti yang disajikan pada Gambar 2. Pengoperasian
bubu dilakukan secara berderetan, dihubungkan pada tiap-tiap bubu, yang
diberikan pemberat utama dan pelampung tanda yang berbendera. Bubu dioperasikan
selama 24 – 48 jam.
Gambar 2. Bubu yang terbuat dari besi
E. Hubungan antara Inang dan Ektoparasit
Ektoparasit
adalah parasit yang melekat pada bagian permukaan tubuh inang. Ektoparasit
mempunyai habitat yang berbeda pada bagian permukaan tubuh inang sebagai tempat
hidupnya. Parasit yang menginfeksi bagian permukaan tubuh inang adalah
protozoa, monogenea dan copepod. Akibat
dari infeksi ektoparasit ini akan memberikan perubahan-perubahan baik pada
jaringan organ tubuh maupun perubahan sifat-sifat inang secara umum Nourina dan
Martiadi (2002) menyebutkan bahwa ektoparasit dapat merugikan inangnya dengan
banyak cara, yaitu dengan mengisap darah, mengisap makanan hospes dan menyerap
jaringan tubuh inang, akibat dari hal tersebut akan berdampak negatif pada
inang yakni dapat merusak jaringan tubuh, menimbulkan gangguan mekanik, membawa
bibit penyakit (vektor), menimbulkan penyumbatan secara mekanis, menurunkan
resistensi tubuh hospes terhadap penyakit lainnya (Ratmin, 2002).
Menurut
Izhar (1998) dalam Sarita dkk. (2003)
bahwa ektoparasit adalah yang hidup pada permukaan tubuh inang atau rongga
tubuh yang terbuka, seperti kulit, mata, sirip, insang dan mulut. Sedangkan menurut Anderson (1974) dalam Fatmah (2001) bahwa ektoparasit
adalah suatu jenis penyakit yang menyerang bagian tubuh luar ikan. Bagian tubuh yang umumnya terinfeksi adalah
bagian luar yaitu kulit, insang, sirip dan mata.
Pemeriksaan
terhadap setiap hospes (inang) harus dimulai dari bagian luar tubuh misalnya
kulit yang umumnya merupakan tempat tinggal copepoda, crustacea, nematoda
monogenik dan beberapa jenis protozoa. Tampat berikut yang harus diperiksa
adalah di dalam mulut dan insang, sebab pada kedua tempat tersebut, mungkin
ditemukan cacing dari jenis yang sama pada kulit dan jenis-jenis lain (Noble
dan Noble, 1989) dalam Sarita, dkk
(2003).
Menurut
Afrianto dan Liviawaty (1992), menjelaskan bahwa untuk mengetahui jenis dan
jumlah ektoparasit yang menempel pada tubuh inang perlu adanya identifikasi dan
intensitas. Identifikasi pada dasarnya merupakan pengenalan dan deskripsi dari
spesies yang kita teliti sedangkan intensitas adalah jumlah rata-rata
ektoparasit yang menempel pada permukaan tubuh inang/organisme.
III. METODE
PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli – September
2014, pengambilan sampel penelitian bertempat di Desa Lakara, Kecamatan
Tinanggea Kabuapaten Konawe Selatan dan pengamatan ektoparasit dilakukan di
Laboratorium Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Halu
Oleo, Kendari.
B. Alat dan Bahan
Alat
dan bahan yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 1. Tabel
1. Alat dan Bahan pada Penelitian
No.
|
Alat dan Bahan
|
Kegunaan
|
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
|
a.
Alat
Mikroskop elektrik
Objek gelas
Kaca penutup
Pinset
Petri disk
Dissecting set
Bubu besi
Buku identifikasi
Thermometer
Hand Refraktometer
pH meter
|
Untuk
pengamatan sampel dan pengambilan foto
Tempat
sampel yang diamati
Penutup
objek gelas
Penjepit
sampel
Tempat sampel
yang diamati
Untuk
memotong organ sampel
Sebagai
alat tangkap Rajungan
Untuk
mengidentifikasi jenis ektoparasit yang ditemukan
Untuk
mengukur suhu perairan
Untuk
mengukur salinitas perairan
Untuk
mengukur pH perairan
|
|
1.
2.
3.
4.
|
b.
Bahan
Kepiting rajungan (P. pelagicus)
Metilen blue
Akuadest
Tissu
|
Sebagai
sampel
Dapat
mempermudah pewarnaan parasit
Untuk
mensterilkan alat
Untuk
membersihkan alat
|
|
C.
Prosedur
Penelitian
1.
Pengambilan
Sampel
Sampel
Kepiting rajungan (P. pelagicus) diambil
pada hasil tangkapan bubu di perairan desa Lakara, Kecamatan Tinanggea,
Kabupaten Konawe Selatan. Pengambilan sampel dilakukan enam kali selama tiga
bulan dengan selisih waktu 15 hari setiap pengambilan sampel. Kepiting
rajungan dipilih yang kondisinya masih
baik atau dalam keadaan hidup dan dikelompokan berdasarkan lebar karapasnya, tingkat
perkembangan rajungan dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu juwana dengan
lebar karapas 20-80 mm, menjelang dewasa dengan lebar 70-150 mm, dan dewasa
dengan lebar karapas 150-200 mm.
2.
Pemeriksaan/Identifikasi
Ektoparasit
Prosedur
pemeriksaan ektoparasit mengacu pada prosedur yang dikemukakan Kabata (1985)
yaitu sebagai berikut :
-
Mengamati bagian luar tubuh organisme, kemudian mencatat
jika terjadi pendarahan, luka atau pembengkakan dan memperhatikan jenis
organisme yang melekat pada tubuh Kepiting rajungan (P. pelagicus)
-
Mengeruk bagian-bagian tertentu pada bagian luar tubuh
rajungan seperti karapaks, kaki jalan, kaki renang dan insang,
-
Mengambil dengan pingset kemudian meletakan pada objek
glass yang telah disediakan dan diamati dibawah mikroskop dengan pembesaran
100X
-
Melihat jenis ektoparasit yang telah ditemukan kemudian
bandingkan pada buku identifikasi.
3. Penghitungan Intensitas Ektoparasit
Intensitas
merupakan kuantitas yang diukur berdasarkan ukuran dari suatu objek yang
diteliti. Persamaan intensitas jenis ektoparasit dihitung dengan jumlah total
parasit tertentu yang menginfeksi dibagi jumlah Portunus pelagicus yang terserang ektoparasit tertentu.
Penghitungan intensitas ektoparasit menggunakan rumus Bush et al, (1997) yaitu sebagai
berikut :
Dimana : I = Intensitas serangan ektoparasit
(Individu/ekor)
p = Jumlah parasit
yang ditemukan (Individu)
N=
Jumlah sampel yang terinfeksi (ekor)
4. Perameter Kualitas Air
Parameter yang diukur dalam penelitian ini yaitu suhu
perairan (0C), salinitas perairan (ppt) dan pH.
5.
Analisis
Data
Data
sampel ektoparasit yang ditemukan dari hasil identifikasi dan intensitas serangan
parasit pada Kepiting rajungan (P.
pelagicus) serta data parameter kualitas perairan dianalisis secara
deskriptif yaitu analisa data yang telah diperoleh secara sistematis dan
terperinci dengan menggunakan bagan, diagram maupun tabel (Yusuf dkk, 2012).
DAFTAR
PUSTAKA
Afrianto dan Liviawaty, 1992.
Pengendalian Hama dan Penyakit Ikan. Kanisius. Yogiakarta. 110 hal.
Amgyat.N.T. 1982. Bahan dan Desain Jaring Insang Hanyut. Jakarta. 12 hlm.
Bush, A. O., Lafferty, K.D.,
Lotz, J.M., and Shostak, W. 1997. Parasitology Meets Ecologi on its Own Terms
Morgolis. Resivited. Parasitology. 83:575-583.
Coleman. N. 1991. Encyclopedia of marine animals. Angus
& Robertson, An Inprint of harper colling Publishers. Australia, 324 pp.
Effendy, S., Sudirman, S. Bahri, E. Nurcahyono, H.
Batubara, dan M. Syaichudin. 2006. Petunjuk Teknis Pembenihan Rajungan (Portunus Pelagicus Linnaenus).
Diterbitkan Atas Kerjasama Departemen Kealutan dan Perikanan, Direktorat
Jenderal Perikanan dengan Balai Budidaya Air Payau, Takalar.
Fatmawati. 2009. Kelimpahan Relatif dan Struktur Ukuran
Rajungan Di Daerah Mangrove Kecamatan Tekolabbua Kabupaten Pangkep.Skripsi. Jurusan
Perikanan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin,
Makassar.
Grabda, J. 1991. Marine Fish Parasitogy
: An Outline. Weinheim. New York. PWN-Polish Scientific Publishers. Warszawa.
hal 3-267.
Jafar, L. 2011. Perikanan Rajungan Di
Desa Mattiro Bombang (Pulau Salemo, Sabangko Dan Sagara) Kabupaten Pangkep.
Skripsi. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin. Makassar.
105 hal.
Juwana, S. 1997. Tinjauan tentang Perkembangan Penelitian
Budidaya Rajungan (Portunus pelagicus,Linn).
Oseana 22(4); 1-12.
Kabata, Z. 1985. Parasites dan
Diseases of Fish Cultured in The Tropics. Taylor & Francis, London,
Philadelphia. 317 pp.
Mania.
2007. Pengamatan Aspek Biologi Rajungan dalam Menunjang Teknik Perbenihannya.
http://ikanmania.wordpress.com/2007/12/31/ pengamatan- aspek-biologi- rajungan-
dalam- menunjang- teknik perbenihannya. (Akses 11 Juni 2014).
Mirzads. 2009. Pengemasan Daging Rajungan Pasteurisasi
dalam Kaleng. http://mirzads.wordpress.com/2009/02/12/pengemasan-daging-rajungan
pasteurisasi-dalam-kaleng/. (Akses 12 Juni 2014).
Moosa, M. K. 1980. Beberapa Catatan Mengenai Rajungan
dari Teluk Jakarta dan Pulau-Pulau Seribu. Sumberdaya Hayati Bahari, Rangkuman
Beberapa Hasil Penelitian Pelita II. LON-LIPI, Jakarta. Hal 57-79.
Mustafa, A.,
Abdullah dan D. Oetama. 2011. Studi Disain dan Pengoperasian Long Line Pots sebagai
Alat Penangkap Rajungan (Swimming Crab)
yang Efisien dan Ramah Lingkungan. Laporan Penelitian. Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan Universitas Haluoleo. Kendari.
Noble, E. R., G. A. Noble, G. A. Schad dan A. J. McInnes,
1989. Parasitology : The Biologi Of Animal Parasiter. 6 th Ed. Lea
end Febiger. Philadelphia. London. 549 hal.
Nourina dan Martiadi, 2002. Inventrisasi Parasit Pada
Tubuh Ikan. PT. Rineka Cipta. Jakarta. 130 Hal.
Nontji, A. 1986. Laut Nusantara. Djambatan, Jakarta. 105
hlm.
Nyabekken, J.W. 1986. Biologi Laut: Suatu Pendekatan
Biologi. Penerbit Gramedia, Jakarta.
Ratmin, R. 2002. Inventarisasi Ektoparasit dan
Endoparasit Pada Tubuh Ikan Lema (Rastrelliger
canagurta, curiver) di Perairan Seri Kotamadya Ambon. Skripsi. Fakultas
Perikanan Universitas Pattimura. Ambon. 100 hal.
Sarita, A., H., Nurdin, A., R., Nur, I., dan Riani, I.,
2003. Penuntun Praktikum Parasit dan penyakit Ikan. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Universitas Haluoleo. Kendari.
Sinderman, C. J. 1990. Diseases of Marine Fish in
Principal and Shellfish. Vol 1 Second Edition. Academic Press, Inc. San Diego.
California. 15 Hal.
Susanto, N. 2010. Perbedaan antara Rajungan dan Kepiting.
http://blog.unila. ac.id/gnugroho/category/bahan-ajar/karsinologi/. (Akses 11 Juni
2014).
Yusuf Irvansyah, M., Abdulgani, N., dan Mahasri, G.,
2012. Identifikasi dan Intensitas Ektoparasit pada Kepiting Bakau (Scylla serrata) Stadia Kepiting Muda di
Pertambakan Kepiting, Kecamatan Sedati, Kabupaten Sidoarjo. Jurnal Sains dan
Seni ITS Vol. 1. Departemen Perikanan, Fakultas Perikanan Universitas Airlangga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar