Rabu, 02 Juli 2014

manajemen kualitas air



TUGAS MANAJEMEN AKUAKULTUR PAYAU
(PENGELOLAAN KUALITAS AIR DALAM BUDIDAYA
UDANG WINDU (Panaeus monodon))





OLEH  :

LAODE TANDA
I1A2 10 127



PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2013
DAFTAR ISI
    Halaman
HALAMAN JUDUL ……………………….............................................................i
DAFTRA ISI..............................................................................................................ii
DAFTAR TABEL ....................................................................................................iii
I.       PENDAHULUAN...............................................................................................1
II.    PEMBAHASAN..................................................................................................2
1.      Pengeringan Wadah ....................................................................................... 2
2.      Pengolahan Tanah............................................................................................3
3.      Pengapuran......................................................................................................4
4.       Pemupukan......................................................................................................6
5.      Penggunaan Aerator........................................................................................7
6.      Pergantian Air.................................................................................................8
7.      Menjaga Kepadatan Plankton.........................................................................9
8.      Menurunkan Padat Penebaran.......................................................................10
9.      Pemberian Pakan Optimum...........................................................................11
10.  Mengistrahatkan Lahan.................................................................................12
III.   KESIMPULAN...............................................................................................13
IV.   DAFTAR PUSTAKA





DAFTAR TABEL
Tabel                                                   Teks                                                   Halaman
1.      Dosis dan frekuensi kapur dalam masa pemeliharaan udang windu..............6
2.      Pedoman pengoperasian kincir air...................................................................8
3.      Pergantian air tambak intensif.........................................................................9
4.      Jumlah pakan yang diberikan pada setiap tahapan perkembangan
larva udang  windu.........................................................................................11














I.          PENDAHULUAN
Secara umum, manajemen diartikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana menggunakan sumberdaya yang ada untuk mencapai suatu tujuan (how to use resources to get goal). Pada manajemen/pengelolaan kualitas air budidaya Udang Windu (Panaeus monodon), tujuan (goal) adalah produksi atau panen yang berhasil, dan resourcesnya antara lain pengetahuan, peralatan (misalnya aerator) dan bahan (kapur, pupuk, dll). Sedangkan batasan kualitas air secara luas meliputi semua variabel biologi, fisik dan kimia yang berpengaruh terhadap kecocokan sifat-sifat air bagi suatu jenis pemanfaatan tertentu. Pada budidaya Udang Windu (P. monodon) batasan kualitas air adalah semua karakteristik air yang mempengaruhi kelangsungan hidup dan pertumbuhannya.
Dalam budidaya Udang Windu (P. monodon), sering kali ditemui adanya kegagalan ataupun hasil yang tidak memuaskan, padahal semua input-input produksi yang diperlukan telah diberikan sebagaimana mestinya.  Kasus-kasus seperti udang yang dipelihara tidak mau besar atau tidak tumbuh secara optimal, plankton tidak berkembang meskipun pupuk telah diberikan, terjadinya kematian udang secara tiba-tiba dan bersifat massal, sering ditemukan di lapangan.
Salah satu cara untuk menekan tingkat kematian dalam budidaya udang Windu (P. monodon) yang tinggi, khususnya pada saat benih yaitu dengan teknik pendederan sementara (”oslahan”) yaitu mendederkan benih udang selama periode tertentu (sekitar 10 hari) pada petakan tambak dengan kondisi kualitas air yang terkontrol. Pengontrolan kualitas air ini dilakukan supaya persyaratan hidup benih udang windu (P. monodon) secara optimal bisa terpenuhi yaitu dengan mengatur kualitas air (salinitas dan suhu) media pemeliharaan. Tujuan sistem ini adalah menghasilkan benih udang yang mempunyai kemampuan daya adaptasi yang tinggi, sehingga kelangsungan dan pertumbuhannya setelah ditebar di tambak akan tinggi.


II.       PEMBAHASAN
Kunci keberhasilan budidaya biota air, khususnya udang Windu adalah kestabilan kualitas air di dalam wadah (tambak) budidaya. Agar air tetap stabil selama pemeliharaan berlangsung, maka  faktor-faktor pendukung dan berpengaruh perlu mendapat perhatian memadai. Mulai dari sumber air yang berkualitas, kondisi di dalam wadah budidaya yang dapat mempertahankan kualitas air selama masa budidaya. Berikut dikekemukakan beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menciptakan kondisi untuk kualitas air, mempertahankan hingga memperbaiki kualitasnya.
1.      Pengeringan Wadah
Kondisi tanah dasar tambak, khususnya tambak budidaya udang windu sangat terkait dengan kualitas air diatasnya. Proses-proses fisiokimia dan biologi pada tanah dasar akan menentukan kondisi kualitas air di dalam wadah. Oleh karena itu, pengelolaan dasar tambak menjadi salah satu kunci bagi keberhasilan pengelolaan kualitas air selanjutnya.
Pada tambak yang beroperasi terjadi penumpukan bahan organik selama kegiatan budidaya dilakukan. Penumpukan bahan organik pada tambak semi intensif, intensif dan super intensif tidak bisa dihindari. Sisa pakan, kotaran atau feses, organisme dan plankton yang mati serta material organik berupa padatan tersuspensi maupun terlarut  yang terangkut lewat pemasukan air.
Limbah bahan organik ini apabila dibiarkan maka akan berdampak buruk terhadap kualitas air, pertumbuhan udang,  kelangsungan hidup dan kesehatan udang. Begitu juga substansi-substansi beracun seperti amonia, nitrit, H2S dan gas metan perlu disingkirkan dari lapisan dasar. Karena itu, setelah panen secepatnya dilakukan penyingkiran bahan organik. Akumulasi bahan limbah yang mengendap di dasar bisa dihilangkan dengan cara mengeruknya dari dasar. Dalam hal tersebut lapisan permukaan tanah setelah 5-10 cm perlu dibuang atau diganti.
Pengeringan merupakan tahap yang paling penting dalam proses persiapan tambak udang windu (Panaeus monodon)  sebelum digunakan. Akan tetapi pengeringan yang berlebihan menjadi kontra produktif dan akan mengurangi masa siklus produksi per tahunnya. Sebab hal itu, berpengaruh buruk terhadap proses dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme tanah yang melampaui titik kandungan kelembaban optimim. Hal ini sesuai dengan pernyataan Boyd (1992), melaporkan bahwa dua minggu setelah pengeringan tambak, kecepatan dekomposisi sangat berkurang. Karena itu pada masa pengeringan sebelum tebar benur, alangkah baiknya mengairi tambak beberapa hari untuk membasahi dasar tambakdan kemudian mengeringkannya kembali.
Pengeringan dasar tambak budidaya udang windu (Panaeus monodon) sangat berguna untuk memperbaiki kondisi dasar, diantaranya :
1.      Aerasi sedimen permukaan untuk pengoksidasian snyawa-senyawa tereduksi, seperti H2S, nitrit, amonia, ion besi, methan dan lain-lain yang toksis (beracun) terhadap Udang Windu (Panaeus monodon).
2.      Dekomposisi dan mineralisasi bahan organik oleh mikroorganisme tanah
3.      Reduksi BOD (biochemical oxygen demand)
4.      Disinfeksi dasar kolam dan tambak dari mikroorganisme patogen, dengan penyinaran matahari secara langsung.
5.      Penghilangan lapisan filamenthos algae yang tidak diinginkan.
2.      Pengolahan Tanah
Setelah peengeringan, dasar tambak diolah dengan cara dibalik atau dibajak hingga kedalaman 5-15 cm. Pengolahan tahan dan pencucian bisa membantu mengurangi kadar besi tanah pada tambak bertanah asam. Untuk tambak bertanah asam diperlukan pengolahan tanah yang lebih cermat daripada tanah dari pada tanah yang tidak asam. Tanah dasar yang bersifat asam banyak mengeluarkan zat besi (Fe). Ini ditandai dari adanya warna hitam, cokelat, hitam cokelat, cokelat mudah dan beberapa tanda lain yang mudah dilihat pada tanah Fe berkemampuan mengikat beberapa mineral yang dibutuhkan untuk plankton sehingga alga tidak tumbuh. Logam berat lannya, seperti Al, Cu, dan Zn akan timbul terus. Beberapa diantaranya bersifat racun yang dapat membahayakan kesehatan udang windu.
Karena tanah asam, air yang masuk ke tambak pH-nya akan turun walaupun saat persiapan lahan telah dikapur. Kondisi ini menyebabkan udang windu (Panaeus monodon) sulit molting dan plankton juga sangat sulit untuk tumbuh ( Khordi dan Tancung, 2007).
Kondi jelek ini akan berpengaruh terhadap nafsu makan udang windu (Panaeus monodon), sehingga sisa pakan semakin menumpuk di dasar tambak. Protein (pakan) diurai oleh bakteri menjadi H2S, NH3, serta NO2, yang dapat meracuni udang budidaya. Disamping itu bakteri pengurai dan reaksi-reaksi yang terjadi banyak menggunakan O2. Sehingga kosentrasi oksigen di dalam tambak semakin rendah dan mengancam keselamatan udang windu.
Karena itu, tambak yang dibuat pada tanah asam membutuhkan pengolahan khusus. Pada tanah asam, tambak harus dicuci dulu dengan memasukan air setinggi 30 cm dan kincir dijalankan. Setelah 5 hari air dibuang dan tanah dijemur sampai pecah-pecah. Hal ini dilakukan agar keasaman tanah berkurang (Khordi dan Tancung, 2007).
Pengolahan tanah pada tambak budidaya udang windu (Panaeus monodon)  bertujuan memperbaiki kondisi tanah dasar yaitu sebagai berikut :
1.      Memperbaiki struktur dan tekstur tanah agar menjadi subur, gembur dan membuat koloid tanah menjadi stabil.
2.      Meningkatkan pH tanah, yang berarti juga meningkatkan pH air.
3.      Memperbaiki lapisan tanah dasar yang porous (berpori) menjadi kedap air.
4.      Memperbaiki dasar pelataran agar pengeringan air sewaktu-waktu lebih lancar.
3.      Pengapuran
Pengapuran dapat dilakukan pada dasar tambak disaat persiapan dan pengapuran susulan selama pemeliharaan udang windu (Panaeus monodon)  berlangsung. Pengapuran tanah dasar perlu dilakukan jika nilai pH tanah kurang dari 7, dan berguna untuk menetralkan asam-asam organik akibat dekomposisi bahan organikyang tidak sempurnadalam sedimen yang tereduksi. Menurut Boyd ( 1992), pH tanah antara 7,5-8,5 merupakan pH ideal untuk dekomposisi maksimum bahan organik oleh mikroorganisme tanah. Sebaliknya pH yang lebih tinggi akan menghambat proses dekomposisi.
Untuk memperbaiki pH tanah, maka pengapuran adalah bagian dari persiapan tambak. Pengapuran berfungsi sebagai berikut :
1.      Meningkatkan pH tanah.
2.      Membakar jasad-jasad renik penyebab penyakit dan hewan liar.
3.      Mengikat dan mengendapkan butiran lumpur halus.
4.      Memperbaiki kualitas tanah.
5.      Meningkatkan fosfor yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan plankton.
Menurut Amrullah (1997), pada tahap persiapan dengan efek panasnya kapur bisa berfungsi sebagai disinfektan yang bisa mematikan kuman. Menambah ph lumpur dasar dan karenanya menambah tersediahnya fosfor yang berasal dari pupuk sehingga plankton bisa selalu tumbuh karena fosfat tersedia dalam jumlah yang cukup.
Pada saat persiapan lahan petambak banyak menggunakan kapur gambing (CaO) dan kapur bangunan (Ca(OH)2). Menurut Boyd (1979), dua kapur tersebut memiliki daya netralisasi yang tinggi yaitu 179% untuk kapur gambing dan 136% untuk kapur bangunan. Takaran kapur yang digunakan disesuaikan dengan nilai pH  tanah. Keefektifan material kapur tergantung bentuk dan ukuran partikel. Kapur dengan ukuran partikel lebih kecil adalah lebih efektif, karena luas permukaan yang bereaksi lebih besar.
Sedangkan pengapuran susulan dilakukan rutin selama pemeliharaan. Pengapuran ini bertujuan meningkatkan ph dn alkalinitas air tambak serta menciptakan kestabilan plankton. Untuk tujuan ini biasa digunakan jenis kapur pertanian (CaCO3) dan dolomit (CaCO3. MgCO3).  Dosis dan frekuensi disesuaikan dengan umur udang seperti yang disajikan pada tabel di bawah ini.
Tabel 1. Dosis dan frekuensi kapur dalam masa pemeliharaan udang windu
Umur Udang (hari)
Dosis (ppm)
Frekuensi Pemberian
15-30
30-60
60-90
90-120
2,5
2,5-5,0
5.0-7,5
7,5-10
2 x/minggu
2 x/minggu
2 x/minggu
3 x/minggu
Sumber : Amrullah, 1997
4.      Pemupukan
Pemupukan saat persiapan tambak budidaya udang windu sangat diperlukan sebagai sumber nutrien untuk merangsang pertumbuhan fitoplankton. Hal ini sangat diperlukan pada budidaya udang semi intensif. Pemakaian pupuk organik, terutama kotoran hewan berfungsi memberikan substrat untuk pertumbuhan populasi mikroba. Tetapi pada tambak intensif dan super intensif, pemupukan tidak diperlukan dan tidak dianjurkan. Karena beban organik yang berlebihan dan BOD yang meningkat akan terjadi pada tambak budidaya tersebut.
Dalam pemupukan tambak budidaya pada umumnya terdapat dua kali pemupukan. Pemupukan awal ditunjukan untuk peningkatan produksi dan tidak memanfaatkan pupuk secara tidak langsung. Pupuk yang diberikan ditujukan untuk memasok unsur hara yang sangat diperlukan seperti nitrogen, fosfor dan kalium. Secara garis besarnya pupuk yang digunakan dalam kegiatan budidaya udang windu yaitu terbagi atas pupuk organik, seperti hijauan, pupuk kandang dan sisa rumah tangga dan pupuk anorganik seperti Urea, TSP, KCl dan NPK (Khordi dan Tancung, 2007).
Beberapa petambak yang membudidayakan udang windu mengaplikasikan pupuk urea atau pupuk nitrogen yang lain pada tanah tambak sebelum pembajakan agar mempercepat dekomposisi bahan organik. Daniels (1991) dalam Khordi (2007), melaporkan bahwa penggunaan urea 48 kg N/ha pada tambak – tambak di Ekuador, secara nyata menurunkan bahan organik dasar tambak. Sedangkan pada tambak lainnya memakai 50-100 kg urea/ha.
Kedua, pemupukan susulan yang ditujukan untuk mempertahankan kecerangan air dan memasok unsur hara seperti Nitrogen, Fosfor dan Kalium. Pemupukan sebaiknya dilakukan setiap dua minggu dengan dosis 25 kg urea dan 15 kg TSP untuk mempertahankan kecerahan antara 30-40 cm. Pemberian pupuk harus dilakukan segera setelah ganti air. Dosis pupuk urea yang biasa diaplikasikan adalah 150 kg/ha, sedangkan pupuk TSP adalah 100 kg/ha (Mustafa, dkk. 1998).
5.      Penggunaan Aerator
Oksigen terlarut dalam air tambak budidaya udang windu semi intensif dan intensif harus dipertahankan berkisar kosentrasi jenuh (5-7 ppm, tergantung air dan salinitas). Jumlah osigen terlarut yang dibutuhkan oleh pertumbuhan optimal untuk udang windu, tergantung dari ukuran, suhu dan padat penebaran.  Untuk budidaya udang windu intensif dengan padat penebaran 300.000 ekor/ ha, oksigen diperairan tambak harus dipertahankan pada kisaran 5-10 ppm. Kondisi kritis, dalam kaitannya dengan kosentrasi oksigen terlarut, dapat dilihat dari jumlah udang yang berenang di permukaan air. Hal ini biasanya terjadi pada pagi hari saat kosentrasi oksigen terlarut menurun sampai >3 ppm. Kondisi tersebut tidak boleh dibiarkan berlangsung terus setiap hari karena dapat menghambat pertumbuhan bahkan dapat menyebabkan kematian massal. Cara mengatasinya yaitu dengan memasang sistem aerasi untuk memasok oksigen dengan cepat (Khordi dan Tancung, 2007).
Alat yang digunakan untuk sistem aerasi adalah kincir air, karena alat ini merupakan yang paling cocok ditinjau dari laju alih oksigendan kemudahan pemeliharaan. Kincir air dapat digerakan dengan tenaga listrik maupun mesin bakar yang biasa diletakan di atas pematang.
Aerator tidak harus dihidupkan terus- menerus, terutama pada awal penebaran. Lama waktu aerator dihidupkan tergantung pada kadar oksigen dan kondisi dasar tambak. Adapun pedoman pengoperasian kincir dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 2. Pedoman pengoperasian kincir air
Umur udang windu (hari)
Oksigenisasi
Pemeliharaan
1-20
Selama mendung/hujan dan setelah tambak air
Malam hari 2-6 jam. tiap 2-3 hari
20-50
Selama mendung/hujan dan setelah tambak air
Malam hari 2-6 jam. tiap 2-3 hari
50-90
Selama mendung/hujan dan setelah tambak air
Malam hari 2-6 jam. tiap 2-3 hari
90-150
Terus-menerus, selain ketika pemberian pakan
Terus-menerus, selain ketika pemberian pakan
Sumber : Khordi dan Tancung, 2007
Pedoman lain yang sering digunakan adalah kepadatan benur. Untuk kepadatan benur 40.000 ekor dapat memakai aerator kincir air berkapasitas 1 PK. Berdasarkan pedoman tersebut rata-rata 150.000 ekor per petakan, maka untuk setiap petakan membutuhkan kincir air berkasitas 1 PK sebanyak 4 buah.
6.      Pergantian Air
Pada tambak intensif yang padat penebarannya sangat tinggi maka frekuensi pergantian airnya ditingkatkan untuk menjaga kualitas air. Biasanya pergantian air pertama kali saat  benur udang ditambak berumur 30 hari. Karena pada umur tersebut benur sudah cukup kuat untuk melawan arus yang masuk lewat pintu pemasukan.
Pergantian air dilakukan jika terjadi hal-hel berikut :
1.  Perbedaan pH air lebih besar, atau diluar batas 7,5-8,5
2. Air menjadi lebih jernih (>80 cm) atau menjadi lebih keruh.
3. Warnah air menjadi lebih gelap
4. Jumlah bahan organik terlarut meningkat.
5. Munculnya busa dipermukaan air tambak.
            Adapun pergantian air tambak intensif dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 3. Pergantian air tambak intensif


Bulan
Ganti Air/hari (%)
Tinggi air (cm)
Salinitas (ppt)
1
2
3
Menjelang panen
5-10
10-15
15-20
23-30
70-80
80-100
100-120
120-150
24-29
20-26
15-25
24-29

Resiko yang diakibatkan oleh pergantian air dapat dikurangi dengan mengendapkan air dalam tandom minimal 12 jam. Bila air yang dimasukan kedalam tambak di saat pergantian air berasal dari pesisir, estuari atau sungai, hendaknya kualitas air diketahui. Artinya pengukuran kualitas telah dilakukan sebelum dimasukan kedalam tambak.
7.      Menjaga Kepadatan Plankton
Sebagai pakan alami, keberadaan plankton tetap penting sekalipun intensif dan super intensif, terutama pada stadia awal pemeliharaan. Ini sering diabaikan oleh petambak. Perlu diingatkan bahwa makanan alami terutama unicelluler algae mengandung asam lemak tidak jenuh yang sangat dibutuhkan oleh larva udang windu.
Keberadaan plankton, terutama fitoplankton di dalam ekosistem perairan tidak dapat diabaikan. Dalam tambak fitoplankton merupakan penghasil oksigen yang baik namun juga konsumer oksigen yang besar pada malam hari (Boyd, 1989). Fitoplankton yang sehat dapat berfungsi sebagai nutrien sponge, artinya sebagai pengisap larutan-larutan amonia, nitrat, nitrit, fosfat limbah metabolosme udang dan bahan-bahan beracun seperti logam berat dan pestisida. Menurut Kokarkin (1997) bahwa fitoplankton dapat mengurangi metabolit yang diserap nitrogen atau fosfat melalui fotosintesis.
Selanjutnya dengan cahaya matahari dan pengaturan aerasi yang efisien, fitoplankton dapat menghasilakn oksigen. Fitoplanktong juga akan mengurangi penetrasi cahaya dalam tambak sehingga udang merasa lebih nyaman. Sedangkan manfaat lain yang sangat menonjol adalah mencegah terbentuknya klekap (tahi air) di dasar tambak.
Untuk menentukan dosis densitas fitoplankton yang tumbuh di dalam tambak dapat dilakukan pengukuran kecerahan dengan menggunakan secchi disk. Jika angka pengukuran sekitar 30 cm, itu berati densitas fitoplankton baik. Namun jika secchi disk hilang dari pandangan mata kurang dari 25 cm,berarti fitoplankton terlalu padat sehinggaair tambak perlu digantidan penggunaan pupuk perlu dikurangi (Khordi dan Tancung, 2007).
8.      Menurunkan Padat Penebaran
Apabila dalam kegiatan budidaya udang windu ini menerapkan  pengelolaan tambak secara intensif dan super intensif maka ditandai dengan padat penebaran yang tinggi, pemberian pakan yang intensif/terus-menerus, penggunaan aerator serta kontrol kualitas air yang ketat. Walaupun, lokasi yang dipilih sangat ideal untuk budidaya udang windu secara intensif dan super intensif, namun bila lahan dipaksakan terus-menerus berproduksi maka akan mengalami penurunan mutu. Dengan begitu maka pembudidayaan tidak memaksakan untuk berproduksi dengan meningkatkan padat penebaran, tetapi harus menurunkan padat penebaran. Agar kondisi lingkungan secara keseluruhan pada kisaran normal, bukan hanya mengejar keuntungan sebesar-besarnya.
Padat penebaran rendah umumnya udang windu tetap sehat dan jarang kena penyakit. Sebaliknya pada padat penebaran di atas 300.000/ha, kasus gangguan fisik dan penyakit sangat tinggi. Dari segi ekonomi, padat penebarab sekitar 250.000/ha dianggap baik, namun tidak boleh melupakan kondis tambak. Menurut Purnomo (1989),  menyatakan bahwa melihat kemapuan suplay air dan dukungan lingkungan yang lain, maka tambak udang windu di Indonesia hanya mampu memproduksi 2 tin/ha/mt. Dengan demikian jangan paksakan untuk mengejar panen sampai 5 ton/ha/mt, selama kemampuan untuk peningkatan kualitas air tidak ada.

9.      Pemberian Pakan Optimum
Dalam budidaya udang windu secara semi intensif, intensif dan super intensif, pakan merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan keberhasilan usaha. Karena pengelolaan pakan, yang terdiri dari pemilihan jenis pakan, penyimpanan, pemberian dan sebagainya harus dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan target produksi. Pengelolaan pakan sangat penting dalam budidaya perairan karena sangat berpengaruh pada kualitas air dan lingkungan sekitarnya.
Pemberian pakan yang tidak sesuai dengan kebutuhan udang windu akan menimbulkan masalah. Karena sisa-sisa pakan yang tidak habis dimakan akan menjadi limbah dan menurunkan kualitas air. Dekomposisi dari sisa pakan akan menghasilkan racun dan penyebab timbulnya penyakit. Menurut Purnomo (1992), menyatakan bahwa budiday udang windu dengan kepadatan 16 ekor/m2 dan pemberian pakan 2,5-5 % dari bobot biomassa/hari dapat meningkatkan kandungan bahan organik total dari 10,0 ppm menjadi 29,5 ppm dan amonia dari 07, ppm menjadi 4,5 ppm setelah 14 minggu pemeliharaan.
Tabel 4. Jumlah pakan yang diberikan pada setiap tahapan perkembangan larva udang  windu
Stadi Larva
Peningkatan Pakan/hari
100.000 Udang
Perkiraan Sintasan
(Kelangsungan hidup)
PL20-PL27
PL28-PL35
PL36-PL42
PL43-PL49
100-200 g
200-300 g
300-400 g
500 g
100%
80%
70%
Disesuaikan dengan data sampling
Sumber : Cholik, dkk, 1988.
Dalam prosedur pemberian pakan, faktor yang sangat penting untuk diperhatikan adalah takaran, waktu dan respon organisme terhadap pakan yang diberikan, agar pakan yang diberikan tidak sia-sia. Apabila terjadi kekurangan pasokan pakan dalam tambak udang windu maka dapat dikenali dengan ciri-ciri seperti, udang jalan-jalan disiang hari, warna air mudah atau bening/tidak subur dan terjadinya udang belantik.
10.   Mengistrahatkan Lahan
Kondisi lingkungan yang mulai menurun dituding sebagai penyebab kegagalan budidaya udang windu yang sejak awal tahun 1990-an hingga sekarang ini melanda para petambak. Timbulnya berbagai penyakit saat ini tidak akan selesai, bila kondisi lingkungan terus mendukung timbulnya berbagai penyakit, baik yang disebabkan oleh virus, bakteri maupun parasit.
Dari berbagai data yang terkumpul dapat diketahui bahwa penerapan sistem budidaya udang semi intensif, intesif dan super intensif dapat meningkatkan produksi tambak yang sangat tinggi, tetapi itu tadak bertahan lama, karena setelah berhasil dua atau tiga kali panen, petambak kemudian menuai kegagalan karena serangan berbagai penyakit. Salah satu penyebabnya adalah penurunan kualitas lingkungan/daya dukung tambak. Daya dukung tambak pada suatu daera dipengaruhi oleh kualitas tanah, sumber air, topografi, dan elevasi tanah dasar serta klimatologi daera pesisir.
Dan kalaupun lahan tambak memiliki daya dukung yang ideal, namun bila dieksploitasi secara terus menerus tampa diberikan kesempatan untuk melakukan fungsi memulihkan diri (self puryfication), sudah pasti kemunduran daya dukungnya secara kronis tidak bisa dihindari (Liviawati,1995).







111.    KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas saya dapat menarik kesimpulan bahwa yang memegang peranan penting keberhasilan dalam budidaya udang windu sangat ditentukan oleh kapasitas lingkungan atau daya dukung lingkungan dan kualitas air yang optimal sebagai media hidup biota budidaya.























DAFTAR PUSTAKA
Amrullah, K., 1997. Pentingnya Pengapuran dalam budiday udang windu. Dalam Majalah Techner, No. 30, Th. VI, Jakarta : 13-15
Boyd, C.E., 1979. Water Quality in Warmwater Fish Ponds. Auburn University, Albama, USA.
­______1989. Water Quality Manegement and Aeration ini Shrimp Farming. Amerika Soybean Association US Wheat Association, USA
______1992. Pengaturan Aerasi Tambak Udang. Dalam Majalah Primadona, Edisi Nopember, Jakarta : 7-12.
Cholik, F., 1988. Pengaruh Mutu Air Terhadap  Produksi Udang Tambak. Makalah Seminar Sehari Pentingnya Pengelolaan Mutu Air Dalam Meningkatkan Produktivetas Tambak Udang, Semarang, 20 Juni 1988.
Kordi K., M.G.H. dan A.B. Tancung. 2007. Pengelolaan Kualitas Air dalam Budidaya Perairan. Rineka Cipta. Jakarta.
Liviawaty, E., 1995. Pengontrolan Tambak Dengan Indikator Prmer . Dalam Majalah Techner, No. 18, Tahun Iii, Jakarta :18-20.
Mustafa, A., A. Hanafi dan B. Pantjara, 1998. Pendayahgunaan Tanah Gambut Payau Untuk Budidaya Tambak. Dalam Sudradjat., (Peny.), Prosiding Seminar Teknologi Perikanan Pantai, Denpasar 6-7 Agustus, 1998 : 227-233.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar