TUGAS MANAJEMEN AKUAKULTUR PAYAU
(PENGELOLAAN KUALITAS AIR DALAM BUDIDAYA
UDANG WINDU (Panaeus
monodon))

OLEH :
LAODE TANDA
I1A2 10 127
PROGRAM
STUDI BUDIDAYA
PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2013
DAFTAR
ISI
Halaman
HALAMAN
JUDUL ……………………….............................................................i
DAFTRA
ISI..............................................................................................................ii
DAFTAR TABEL ....................................................................................................iii
I. PENDAHULUAN...............................................................................................1
II. PEMBAHASAN..................................................................................................2
1.
Pengeringan Wadah
.......................................................................................
2
2.
Pengolahan Tanah............................................................................................3
3.
Pengapuran......................................................................................................4
4.
Pemupukan......................................................................................................6
5.
Penggunaan Aerator........................................................................................7
6.
Pergantian Air.................................................................................................8
7.
Menjaga Kepadatan Plankton.........................................................................9
8.
Menurunkan Padat Penebaran.......................................................................10
9.
Pemberian Pakan Optimum...........................................................................11
10. Mengistrahatkan
Lahan.................................................................................12
III. KESIMPULAN...............................................................................................13
IV. DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR
TABEL
Tabel
Teks Halaman
1.
Dosis dan frekuensi kapur dalam masa
pemeliharaan udang windu..............6
2.
Pedoman pengoperasian kincir air...................................................................8
3.
Pergantian air tambak
intensif.........................................................................9
4.
Jumlah pakan yang diberikan pada setiap tahapan
perkembangan
larva
udang windu.........................................................................................11
I.
PENDAHULUAN
Secara
umum, manajemen diartikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana menggunakan
sumberdaya yang ada untuk mencapai suatu tujuan (how to use resources to get
goal). Pada manajemen/pengelolaan kualitas air budidaya Udang Windu (Panaeus monodon), tujuan (goal) adalah
produksi atau panen yang berhasil, dan resourcesnya antara lain pengetahuan,
peralatan (misalnya aerator) dan bahan (kapur, pupuk, dll). Sedangkan batasan
kualitas air secara luas meliputi semua variabel biologi, fisik dan kimia yang
berpengaruh terhadap kecocokan sifat-sifat air bagi suatu jenis pemanfaatan
tertentu. Pada budidaya Udang Windu (P. monodon)
batasan kualitas air adalah semua karakteristik air yang mempengaruhi
kelangsungan hidup dan pertumbuhannya.
Dalam
budidaya Udang Windu (P. monodon),
sering kali ditemui adanya kegagalan ataupun hasil yang tidak memuaskan,
padahal semua input-input produksi yang diperlukan telah diberikan sebagaimana
mestinya. Kasus-kasus seperti udang yang
dipelihara tidak mau besar atau tidak tumbuh secara optimal, plankton tidak
berkembang meskipun pupuk telah diberikan, terjadinya kematian udang secara
tiba-tiba dan bersifat massal, sering ditemukan di lapangan.
Salah
satu cara untuk menekan tingkat kematian dalam budidaya udang Windu (P. monodon) yang tinggi, khususnya pada
saat benih yaitu dengan teknik pendederan sementara (”oslahan”) yaitu mendederkan
benih udang selama periode tertentu (sekitar 10 hari) pada petakan tambak dengan
kondisi kualitas air yang terkontrol. Pengontrolan kualitas air ini dilakukan
supaya persyaratan hidup benih udang windu (P.
monodon) secara optimal bisa terpenuhi yaitu dengan mengatur kualitas air
(salinitas dan suhu) media pemeliharaan. Tujuan sistem ini adalah menghasilkan
benih udang yang mempunyai kemampuan daya adaptasi yang tinggi, sehingga
kelangsungan dan pertumbuhannya setelah ditebar di tambak akan tinggi.
II. PEMBAHASAN
Kunci keberhasilan budidaya biota air, khususnya
udang Windu adalah kestabilan kualitas air di dalam wadah (tambak) budidaya.
Agar air tetap stabil selama pemeliharaan berlangsung, maka faktor-faktor pendukung dan berpengaruh perlu
mendapat perhatian memadai. Mulai dari sumber air yang berkualitas, kondisi di
dalam wadah budidaya yang dapat mempertahankan kualitas air selama masa budidaya.
Berikut dikekemukakan beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menciptakan
kondisi untuk kualitas air, mempertahankan hingga memperbaiki kualitasnya.
1. Pengeringan Wadah
Kondisi
tanah dasar tambak, khususnya tambak budidaya udang windu sangat terkait dengan
kualitas air diatasnya. Proses-proses fisiokimia dan biologi pada tanah dasar
akan menentukan kondisi kualitas air di dalam wadah. Oleh karena itu,
pengelolaan dasar tambak menjadi salah satu kunci bagi keberhasilan pengelolaan
kualitas air selanjutnya.
Pada
tambak yang beroperasi terjadi penumpukan bahan organik selama kegiatan
budidaya dilakukan. Penumpukan bahan organik pada tambak semi intensif,
intensif dan super intensif tidak bisa dihindari. Sisa pakan, kotaran atau feses,
organisme dan plankton yang mati serta material organik berupa padatan
tersuspensi maupun terlarut yang
terangkut lewat pemasukan air.
Limbah
bahan organik ini apabila dibiarkan maka akan berdampak buruk terhadap kualitas
air, pertumbuhan udang, kelangsungan
hidup dan kesehatan udang. Begitu juga substansi-substansi beracun seperti
amonia, nitrit, H2S dan gas metan perlu disingkirkan dari lapisan
dasar. Karena itu, setelah panen secepatnya dilakukan penyingkiran bahan
organik. Akumulasi bahan limbah yang mengendap di dasar bisa dihilangkan dengan
cara mengeruknya dari dasar. Dalam hal tersebut lapisan permukaan tanah setelah
5-10 cm perlu dibuang atau diganti.
Pengeringan
merupakan tahap yang paling penting dalam proses persiapan tambak udang windu (Panaeus monodon) sebelum digunakan. Akan tetapi pengeringan
yang berlebihan menjadi kontra produktif dan akan mengurangi masa siklus
produksi per tahunnya. Sebab hal itu, berpengaruh buruk terhadap proses
dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme tanah yang melampaui titik
kandungan kelembaban optimim. Hal ini sesuai dengan pernyataan Boyd (1992),
melaporkan bahwa dua minggu setelah pengeringan tambak, kecepatan dekomposisi
sangat berkurang. Karena itu pada masa pengeringan sebelum tebar benur, alangkah
baiknya mengairi tambak beberapa hari untuk membasahi dasar tambakdan kemudian
mengeringkannya kembali.
Pengeringan
dasar tambak budidaya udang windu (Panaeus
monodon) sangat berguna untuk memperbaiki kondisi dasar, diantaranya :
1.
Aerasi sedimen permukaan untuk
pengoksidasian snyawa-senyawa tereduksi, seperti H2S, nitrit,
amonia, ion besi, methan dan lain-lain yang toksis (beracun) terhadap Udang
Windu (Panaeus monodon).
2.
Dekomposisi dan mineralisasi bahan
organik oleh mikroorganisme tanah
3.
Reduksi BOD (biochemical oxygen demand)
4.
Disinfeksi dasar kolam dan tambak dari
mikroorganisme patogen, dengan penyinaran matahari secara langsung.
5.
Penghilangan lapisan filamenthos algae
yang tidak diinginkan.
2. Pengolahan Tanah
Setelah
peengeringan, dasar tambak diolah dengan cara dibalik atau dibajak hingga
kedalaman 5-15 cm. Pengolahan tahan dan pencucian bisa membantu mengurangi
kadar besi tanah pada tambak bertanah asam. Untuk tambak bertanah asam
diperlukan pengolahan tanah yang lebih cermat daripada tanah dari pada tanah
yang tidak asam. Tanah dasar yang bersifat asam banyak mengeluarkan zat besi
(Fe). Ini ditandai dari adanya warna hitam, cokelat, hitam cokelat, cokelat
mudah dan beberapa tanda lain yang mudah dilihat pada tanah Fe berkemampuan
mengikat beberapa mineral yang dibutuhkan untuk plankton sehingga alga tidak
tumbuh. Logam berat lannya, seperti Al, Cu, dan Zn akan timbul terus. Beberapa
diantaranya bersifat racun yang dapat membahayakan kesehatan udang windu.
Karena
tanah asam, air yang masuk ke tambak pH-nya akan turun walaupun saat persiapan
lahan telah dikapur. Kondisi ini menyebabkan udang windu (Panaeus monodon) sulit molting dan plankton juga sangat sulit untuk
tumbuh ( Khordi dan Tancung, 2007).
Kondi
jelek ini akan berpengaruh terhadap nafsu makan udang windu (Panaeus monodon), sehingga sisa pakan
semakin menumpuk di dasar tambak. Protein (pakan) diurai oleh bakteri menjadi H2S,
NH3, serta NO2, yang dapat meracuni udang budidaya.
Disamping itu bakteri pengurai dan reaksi-reaksi yang terjadi banyak menggunakan
O2. Sehingga kosentrasi oksigen di dalam tambak semakin rendah dan
mengancam keselamatan udang windu.
Karena
itu, tambak yang dibuat pada tanah asam membutuhkan pengolahan khusus. Pada
tanah asam, tambak harus dicuci dulu dengan memasukan air setinggi 30 cm dan
kincir dijalankan. Setelah 5 hari air dibuang dan tanah dijemur sampai
pecah-pecah. Hal ini dilakukan agar keasaman tanah berkurang (Khordi dan
Tancung, 2007).
Pengolahan
tanah pada tambak budidaya udang windu (Panaeus
monodon) bertujuan memperbaiki
kondisi tanah dasar yaitu sebagai berikut :
1.
Memperbaiki struktur dan tekstur tanah
agar menjadi subur, gembur dan membuat koloid tanah menjadi stabil.
2.
Meningkatkan pH tanah, yang berarti juga
meningkatkan pH air.
3.
Memperbaiki lapisan tanah dasar yang
porous (berpori) menjadi kedap air.
4.
Memperbaiki dasar pelataran agar
pengeringan air sewaktu-waktu lebih lancar.
3. Pengapuran
Pengapuran
dapat dilakukan pada dasar tambak disaat persiapan dan pengapuran susulan
selama pemeliharaan udang windu (Panaeus
monodon) berlangsung. Pengapuran
tanah dasar perlu dilakukan jika nilai pH tanah kurang dari 7, dan berguna
untuk menetralkan asam-asam organik akibat dekomposisi bahan organikyang tidak
sempurnadalam sedimen yang tereduksi. Menurut Boyd ( 1992), pH tanah antara
7,5-8,5 merupakan pH ideal untuk dekomposisi maksimum bahan organik oleh
mikroorganisme tanah. Sebaliknya pH yang lebih tinggi akan menghambat proses
dekomposisi.
Untuk
memperbaiki pH tanah, maka pengapuran adalah bagian dari persiapan tambak.
Pengapuran berfungsi sebagai berikut :
1.
Meningkatkan pH tanah.
2.
Membakar jasad-jasad renik penyebab
penyakit dan hewan liar.
3.
Mengikat dan mengendapkan butiran lumpur
halus.
4.
Memperbaiki kualitas tanah.
5.
Meningkatkan fosfor yang sangat
dibutuhkan untuk pertumbuhan plankton.
Menurut
Amrullah (1997), pada tahap persiapan dengan efek panasnya kapur bisa berfungsi
sebagai disinfektan yang bisa mematikan kuman. Menambah ph lumpur dasar dan
karenanya menambah tersediahnya fosfor yang berasal dari pupuk sehingga
plankton bisa selalu tumbuh karena fosfat tersedia dalam jumlah yang cukup.
Pada
saat persiapan lahan petambak banyak menggunakan kapur gambing (CaO) dan kapur
bangunan (Ca(OH)2). Menurut Boyd (1979), dua kapur tersebut memiliki daya
netralisasi yang tinggi yaitu 179% untuk kapur gambing dan 136% untuk kapur
bangunan. Takaran kapur yang digunakan disesuaikan dengan nilai pH tanah. Keefektifan material kapur tergantung
bentuk dan ukuran partikel. Kapur dengan ukuran partikel lebih kecil adalah
lebih efektif, karena luas permukaan yang bereaksi lebih besar.
Sedangkan
pengapuran susulan dilakukan rutin selama pemeliharaan. Pengapuran ini
bertujuan meningkatkan ph dn alkalinitas air tambak serta menciptakan
kestabilan plankton. Untuk tujuan ini biasa digunakan jenis kapur pertanian
(CaCO3) dan dolomit (CaCO3. MgCO3). Dosis dan frekuensi disesuaikan dengan umur
udang seperti yang disajikan pada tabel di bawah ini.
Tabel 1. Dosis
dan frekuensi kapur dalam masa pemeliharaan udang windu
Umur Udang (hari)
|
Dosis (ppm)
|
Frekuensi Pemberian
|
15-30
30-60
60-90
90-120
|
2,5
2,5-5,0
5.0-7,5
7,5-10
|
2 x/minggu
2 x/minggu
2 x/minggu
3 x/minggu
|
Sumber : Amrullah, 1997
4. Pemupukan
Pemupukan
saat persiapan tambak budidaya udang windu sangat diperlukan sebagai sumber
nutrien untuk merangsang pertumbuhan fitoplankton. Hal ini sangat diperlukan
pada budidaya udang semi intensif. Pemakaian pupuk organik, terutama kotoran
hewan berfungsi memberikan substrat untuk pertumbuhan populasi mikroba. Tetapi
pada tambak intensif dan super intensif, pemupukan tidak diperlukan dan tidak
dianjurkan. Karena beban organik yang berlebihan dan BOD yang meningkat akan
terjadi pada tambak budidaya tersebut.
Dalam pemupukan
tambak budidaya pada umumnya terdapat dua kali pemupukan. Pemupukan awal
ditunjukan untuk peningkatan produksi dan tidak memanfaatkan pupuk secara tidak
langsung. Pupuk yang diberikan ditujukan untuk memasok unsur hara yang sangat
diperlukan seperti nitrogen, fosfor dan kalium. Secara garis besarnya pupuk
yang digunakan dalam kegiatan budidaya udang windu yaitu terbagi atas pupuk
organik, seperti hijauan, pupuk kandang dan sisa rumah tangga dan pupuk
anorganik seperti Urea, TSP, KCl dan NPK (Khordi dan Tancung, 2007).
Beberapa
petambak yang membudidayakan udang windu mengaplikasikan pupuk urea atau pupuk
nitrogen yang lain pada tanah tambak sebelum pembajakan agar mempercepat
dekomposisi bahan organik. Daniels (1991) dalam
Khordi (2007), melaporkan bahwa penggunaan urea 48 kg N/ha pada tambak – tambak
di Ekuador, secara nyata menurunkan bahan organik dasar tambak. Sedangkan pada
tambak lainnya memakai 50-100 kg urea/ha.
Kedua, pemupukan
susulan yang ditujukan untuk mempertahankan kecerangan air dan memasok unsur
hara seperti Nitrogen, Fosfor dan Kalium. Pemupukan sebaiknya dilakukan setiap
dua minggu dengan dosis 25 kg urea dan 15 kg TSP untuk mempertahankan kecerahan
antara 30-40 cm. Pemberian pupuk harus dilakukan segera setelah ganti air. Dosis
pupuk urea yang biasa diaplikasikan adalah 150 kg/ha, sedangkan pupuk TSP
adalah 100 kg/ha (Mustafa, dkk. 1998).
5. Penggunaan Aerator
Oksigen
terlarut dalam air tambak budidaya udang windu semi intensif dan intensif harus
dipertahankan berkisar kosentrasi jenuh (5-7 ppm, tergantung air dan
salinitas). Jumlah osigen terlarut yang dibutuhkan oleh pertumbuhan optimal
untuk udang windu, tergantung dari ukuran, suhu dan padat penebaran. Untuk budidaya udang windu intensif dengan
padat penebaran 300.000 ekor/ ha, oksigen diperairan tambak harus dipertahankan
pada kisaran 5-10 ppm. Kondisi kritis, dalam kaitannya dengan kosentrasi
oksigen terlarut, dapat dilihat dari jumlah udang yang berenang di permukaan
air. Hal ini biasanya terjadi pada pagi hari saat kosentrasi oksigen terlarut
menurun sampai >3 ppm. Kondisi tersebut tidak boleh dibiarkan berlangsung
terus setiap hari karena dapat menghambat pertumbuhan bahkan dapat menyebabkan
kematian massal. Cara mengatasinya yaitu dengan memasang sistem aerasi untuk
memasok oksigen dengan cepat (Khordi dan Tancung, 2007).
Alat
yang digunakan untuk sistem aerasi adalah kincir air, karena alat ini merupakan
yang paling cocok ditinjau dari laju alih oksigendan kemudahan pemeliharaan.
Kincir air dapat digerakan dengan tenaga listrik maupun mesin bakar yang biasa
diletakan di atas pematang.
Aerator
tidak harus dihidupkan terus- menerus, terutama pada awal penebaran. Lama waktu
aerator dihidupkan tergantung pada kadar oksigen dan kondisi dasar tambak.
Adapun pedoman pengoperasian kincir dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 2. Pedoman
pengoperasian kincir air
Umur udang windu (hari)
|
Oksigenisasi
|
Pemeliharaan
|
1-20
|
Selama mendung/hujan dan setelah tambak air
|
Malam hari 2-6 jam. tiap 2-3 hari
|
20-50
|
Selama mendung/hujan dan setelah tambak air
|
Malam hari 2-6 jam. tiap 2-3 hari
|
50-90
|
Selama mendung/hujan dan setelah tambak air
|
Malam hari 2-6 jam. tiap 2-3 hari
|
90-150
|
Terus-menerus, selain ketika pemberian pakan
|
Terus-menerus, selain ketika pemberian pakan
|
Sumber : Khordi dan Tancung, 2007
Pedoman lain yang sering digunakan
adalah kepadatan benur. Untuk kepadatan benur 40.000 ekor dapat memakai aerator
kincir air berkapasitas 1 PK. Berdasarkan pedoman tersebut rata-rata 150.000
ekor per petakan, maka untuk setiap petakan membutuhkan kincir air berkasitas 1
PK sebanyak 4 buah.
6. Pergantian Air
Pada
tambak intensif yang padat penebarannya sangat tinggi maka frekuensi pergantian
airnya ditingkatkan untuk menjaga kualitas air. Biasanya pergantian air pertama
kali saat benur udang ditambak berumur
30 hari. Karena pada umur tersebut benur sudah cukup kuat untuk melawan arus
yang masuk lewat pintu pemasukan.
Pergantian
air dilakukan jika terjadi hal-hel berikut :
1. Perbedaan pH air lebih besar, atau diluar
batas 7,5-8,5
2. Air menjadi
lebih jernih (>80 cm) atau menjadi lebih keruh.
3. Warnah air menjadi
lebih gelap
4. Jumlah bahan
organik terlarut meningkat.
5. Munculnya
busa dipermukaan air tambak.
Adapun pergantian air tambak
intensif dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 3.
Pergantian air tambak intensif
Bulan
|
Ganti Air/hari (%)
|
Tinggi air (cm)
|
Salinitas (ppt)
|
1
2
3
Menjelang panen
|
5-10
10-15
15-20
23-30
|
70-80
80-100
100-120
120-150
|
24-29
20-26
15-25
24-29
|
Resiko yang
diakibatkan oleh pergantian air dapat dikurangi dengan mengendapkan air dalam
tandom minimal 12 jam. Bila air yang dimasukan kedalam tambak di saat
pergantian air berasal dari pesisir, estuari atau sungai, hendaknya kualitas
air diketahui. Artinya pengukuran kualitas telah dilakukan sebelum dimasukan
kedalam tambak.
7. Menjaga Kepadatan Plankton
Sebagai
pakan alami, keberadaan plankton tetap penting sekalipun intensif dan super
intensif, terutama pada stadia awal pemeliharaan. Ini sering diabaikan oleh
petambak. Perlu diingatkan bahwa makanan alami terutama unicelluler algae mengandung asam lemak tidak jenuh yang sangat dibutuhkan
oleh larva udang windu.
Keberadaan
plankton, terutama fitoplankton di dalam ekosistem perairan tidak dapat
diabaikan. Dalam tambak fitoplankton merupakan penghasil oksigen yang baik
namun juga konsumer oksigen yang besar pada malam hari (Boyd, 1989).
Fitoplankton yang sehat dapat berfungsi sebagai nutrien sponge, artinya sebagai pengisap larutan-larutan amonia,
nitrat, nitrit, fosfat limbah metabolosme udang dan bahan-bahan beracun seperti
logam berat dan pestisida. Menurut Kokarkin (1997) bahwa fitoplankton dapat
mengurangi metabolit yang diserap nitrogen atau fosfat melalui fotosintesis.
Selanjutnya
dengan cahaya matahari dan pengaturan aerasi yang efisien, fitoplankton dapat
menghasilakn oksigen. Fitoplanktong juga akan mengurangi penetrasi cahaya dalam
tambak sehingga udang merasa lebih nyaman. Sedangkan manfaat lain yang sangat
menonjol adalah mencegah terbentuknya klekap (tahi air) di dasar tambak.
Untuk menentukan
dosis densitas fitoplankton yang tumbuh di dalam tambak dapat dilakukan pengukuran
kecerahan dengan menggunakan secchi disk.
Jika angka pengukuran sekitar 30 cm, itu berati densitas fitoplankton baik.
Namun jika secchi disk hilang dari pandangan mata kurang dari 25 cm,berarti
fitoplankton terlalu padat sehinggaair tambak perlu digantidan penggunaan pupuk
perlu dikurangi (Khordi dan Tancung, 2007).
8. Menurunkan Padat Penebaran
Apabila
dalam kegiatan budidaya udang windu ini menerapkan pengelolaan tambak secara intensif dan super
intensif maka ditandai dengan padat penebaran yang tinggi, pemberian pakan yang
intensif/terus-menerus, penggunaan aerator serta kontrol kualitas air yang
ketat. Walaupun, lokasi yang dipilih sangat ideal untuk budidaya udang windu
secara intensif dan super intensif, namun bila lahan dipaksakan terus-menerus
berproduksi maka akan mengalami penurunan mutu. Dengan begitu maka
pembudidayaan tidak memaksakan untuk berproduksi dengan meningkatkan padat
penebaran, tetapi harus menurunkan padat penebaran. Agar kondisi lingkungan
secara keseluruhan pada kisaran normal, bukan hanya mengejar keuntungan
sebesar-besarnya.
Padat penebaran
rendah umumnya udang windu tetap sehat dan jarang kena penyakit. Sebaliknya pada
padat penebaran di atas 300.000/ha, kasus gangguan fisik dan penyakit sangat
tinggi. Dari segi ekonomi, padat penebarab sekitar 250.000/ha dianggap baik,
namun tidak boleh melupakan kondis tambak. Menurut Purnomo (1989), menyatakan bahwa melihat kemapuan suplay air
dan dukungan lingkungan yang lain, maka tambak udang windu di Indonesia hanya
mampu memproduksi 2 tin/ha/mt. Dengan demikian jangan paksakan untuk mengejar
panen sampai 5 ton/ha/mt, selama kemampuan untuk peningkatan kualitas air tidak
ada.
9. Pemberian Pakan Optimum
Dalam
budidaya udang windu secara semi intensif, intensif dan super intensif, pakan
merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan keberhasilan usaha. Karena
pengelolaan pakan, yang terdiri dari pemilihan jenis pakan, penyimpanan,
pemberian dan sebagainya harus dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan target
produksi. Pengelolaan pakan sangat penting dalam budidaya perairan karena
sangat berpengaruh pada kualitas air dan lingkungan sekitarnya.
Pemberian
pakan yang tidak sesuai dengan kebutuhan udang windu akan menimbulkan masalah.
Karena sisa-sisa pakan yang tidak habis dimakan akan menjadi limbah dan
menurunkan kualitas air. Dekomposisi dari sisa pakan akan menghasilkan racun
dan penyebab timbulnya penyakit. Menurut Purnomo (1992), menyatakan bahwa
budiday udang windu dengan kepadatan 16 ekor/m2 dan pemberian pakan
2,5-5 % dari bobot biomassa/hari dapat meningkatkan kandungan bahan organik
total dari 10,0 ppm menjadi 29,5 ppm dan amonia dari 07, ppm menjadi 4,5 ppm
setelah 14 minggu pemeliharaan.
Tabel 4. Jumlah pakan yang diberikan pada setiap tahapan perkembangan larva
udang windu
Stadi Larva
|
Peningkatan Pakan/hari
100.000 Udang
|
Perkiraan Sintasan
(Kelangsungan hidup)
|
PL20-PL27
PL28-PL35
PL36-PL42
PL43-PL49
|
100-200 g
200-300 g
300-400 g
500 g
|
100%
80%
70%
Disesuaikan dengan data
sampling
|
Sumber : Cholik, dkk, 1988.
Dalam
prosedur pemberian pakan, faktor yang sangat penting untuk diperhatikan adalah
takaran, waktu dan respon organisme terhadap pakan yang diberikan, agar pakan
yang diberikan tidak sia-sia. Apabila terjadi kekurangan pasokan pakan dalam
tambak udang windu maka dapat dikenali dengan ciri-ciri seperti, udang
jalan-jalan disiang hari, warna air mudah atau bening/tidak subur dan
terjadinya udang belantik.
10. Mengistrahatkan
Lahan
Kondisi
lingkungan yang mulai menurun dituding sebagai penyebab kegagalan budidaya
udang windu yang sejak awal tahun 1990-an hingga sekarang ini melanda para
petambak. Timbulnya berbagai penyakit saat ini tidak akan selesai, bila kondisi
lingkungan terus mendukung timbulnya berbagai penyakit, baik yang disebabkan
oleh virus, bakteri maupun parasit.
Dari
berbagai data yang terkumpul dapat diketahui bahwa penerapan sistem budidaya
udang semi intensif, intesif dan super intensif dapat meningkatkan produksi
tambak yang sangat tinggi, tetapi itu tadak bertahan lama, karena setelah
berhasil dua atau tiga kali panen, petambak kemudian menuai kegagalan karena
serangan berbagai penyakit. Salah satu penyebabnya adalah penurunan kualitas
lingkungan/daya dukung tambak. Daya dukung tambak pada suatu daera dipengaruhi
oleh kualitas tanah, sumber air, topografi, dan elevasi tanah dasar serta
klimatologi daera pesisir.
Dan kalaupun
lahan tambak memiliki daya dukung yang ideal, namun bila dieksploitasi secara
terus menerus tampa diberikan kesempatan untuk melakukan fungsi memulihkan diri
(self puryfication), sudah pasti
kemunduran daya dukungnya secara kronis tidak bisa dihindari (Liviawati,1995).
111. KESIMPULAN
Berdasarkan
pembahasan di atas saya dapat menarik kesimpulan bahwa yang memegang peranan
penting keberhasilan dalam budidaya udang windu sangat ditentukan oleh
kapasitas lingkungan atau daya dukung lingkungan dan kualitas air yang optimal
sebagai media hidup biota budidaya.
DAFTAR PUSTAKA
Amrullah, K., 1997. Pentingnya Pengapuran dalam budiday udang windu. Dalam
Majalah Techner, No. 30, Th. VI, Jakarta : 13-15
Boyd, C.E., 1979. Water Quality in Warmwater Fish Ponds. Auburn University,
Albama, USA.
______1989. Water Quality Manegement and Aeration ini Shrimp Farming.
Amerika Soybean Association US Wheat Association, USA
______1992. Pengaturan Aerasi Tambak Udang. Dalam Majalah Primadona, Edisi
Nopember, Jakarta : 7-12.
Cholik, F., 1988. Pengaruh Mutu Air Terhadap Produksi Udang Tambak. Makalah Seminar Sehari
Pentingnya Pengelolaan Mutu Air Dalam Meningkatkan Produktivetas Tambak Udang,
Semarang, 20 Juni 1988.
Kordi K., M.G.H. dan A.B. Tancung. 2007. Pengelolaan
Kualitas Air dalam Budidaya Perairan. Rineka Cipta. Jakarta.
Liviawaty, E., 1995. Pengontrolan Tambak Dengan Indikator Prmer . Dalam
Majalah Techner, No. 18, Tahun Iii, Jakarta :18-20.
Mustafa, A., A. Hanafi dan B. Pantjara, 1998. Pendayahgunaan Tanah Gambut
Payau Untuk Budidaya Tambak. Dalam Sudradjat., (Peny.), Prosiding Seminar
Teknologi Perikanan Pantai, Denpasar 6-7 Agustus, 1998 : 227-233.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar